CERPEN

BERDIALOG DENGAN ALAM
“Bapak, aku ikut!” Seru seorang anak laki-laki sembari mengejar ayahnya yang telah meninggalkan rumah.
Anak itu melepaskan diri dari pangkuan ibunya. Kakinya yang mungil terus berlari mengejar Sang Ayah, hingga ia berhasil meraih lengan kanan ayahnya. Ibunya tak mampu berbuat banyak. Ia hanya tersenyum kala melihat tingkah anak semata wayangnya yang selalu ingin ikut dengan ayahnya. Anak lelaki itu menengadahkan kepala, berusaha menatap wajah ayahnya. Sang Ayah pun melirik buah hatinya yang mungil. Ia tak berkata apapun, hanya menyunggingkan senyum ramah pada anak lelakinya. Ia menggenggam sebungkus nasi serta tiga buah bibit pohon kayu di tangan kirinya, sedang tangan kanannya menuntun anaknya.
“Ayah, mau apa kita ke hutan?”
“Kita akan memberikan makanan terakhir kepada sebuah pohon kayu.”
Tanpa banyak bertanya, anak tersebut melangkah bersama Sang Ayah menuju hutan di dekat rumahnya. Ya, rumah mereka memang berada di pedalaman kampung yang keadaan alamnya masih asri. Tak seperti di Kota, udara di sini masih segar, tak terlalu banyak asap kendaraan. Andaipun ada kendaraan, itu hanya beberapa sepeda motor butut yang biasa dipakai warga untuk mengangkut kayu, atau sekedar digunakan untuk pergi ke pasar, membeli beberapa kebutuhan hidup.

Warga Desa ini, sedikit-banyak menggantungkan hidupnya pada alam. Mereka menggunakan kayu bakar untuk memasak, memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci, dan menanami sebagian lahan hutan untuk makan, walau sesekali mereka berbelanja ke pasar untuk sekedar memenuhi kekurangan. Sebagian besar mata pencaharian warga adalah berkebun. Mereka banyak menanam hasil bumi, dari mulai sayuran hingga buah-buahan. Tapi, ada pula orang-orang yang merasa tak cukup dengan itu semua. Sebagian orang yang tak puas dengan keadaan, berkelana ke kota dengan dalih memperbaiki nasib.
Pohon-pohon kayu yang rindang berderet tak beraturan di hutan itu. nyanyian burung pun menggema di setiap sudut hutan. Pak Asep dan Agus anaknya, melangkah pasti menuju hutan. Esok hari Pak Asep berniat menebang sebuah pohon kayu untuk memperbaiki rumahnya yang sudah tak karuan. Kebiasaan warga setempat ketika hendak menebang sebuah pohon, pasti sehari sebelumnya mereka akan mengunjungi pohon tersebut untuk meminta restu dan memberinya makanan terakhir. Makanan itu bukan pupuk ataupun air, tapi makanan yang biasa dimakan oleh manusia, seperti sayuran, buah-buahan, atau nasi. Selain meminta restu dan memberi makan terakhir, warga setempat juga mewajibkan diri untuk mengganti pohon yang mereka tebang dengan tiga bibit pohon baru, yang serupa dengan apa yang ditebangnya.
Sesampainya di hutan, Pak Asep memilah pohon kayu yang menurutnya baik. Ia melihat-lihat dengan matanya, dan meraba dahan-dahan pohon tersebut. Setelah memastikan pohon mana yang esok akan ditebangnya, ia pun membungkuk penuh hormat memberi salam, kemudian duduk di hadapan pohon tersebut. Agus yang masih belum mengerti apa-apa, hanya memperhatikan ayahnya sembari sesekali meniru gerakan ayahnya.
“Maafkan aku. Besok aku membutuhkanmu untuk memperbaiki rumahku yang bobrok. Tapi, akupun sudah membawa beberapa saudaramu untuk menggantikan posisimu di sini. Selain itu, aku juga sudah membawa makanan untukmu yang terakhir. Jadi, kuharap kamu tak murka saat aku mengambilmu, besok.” Ujar Pak Asep kepada sebatang pohon kayu di hadapannya.
“Kenapa bapak bicara dengan pohon?” Tanya Agus, polos.
“Apakah tak boleh bapakmu ini meminta restu alam agar berkah?”
Agus membisu. Ia hanya menatap ayahnya penuh tanya.
“Gus!” Sapa Pak Asep pada anak lelakinya yang masih mungil dan tak tahu apa-apa. “Dimanapun kamu berada, kamu harus memperlakukan sesama makhluk hidup dengan baik dan ramah. Tak boleh kamu semena-mena, termasuk kepada sebatang pohon. Mereka itu hidup, Gus. Mereka itu bernyawa. Sama seperti kamu. Bahkan, jika tak ada mereka, kita sebagai manusia tak bisa hidup. Kamu harus ingat itu baik-baik, ya, Gus.” Lanjut Pak Asep menasihati anaknya.
Agus kecil hanya mengangguk tanpa berkata sepatahpun. Usai mendengarkan nasihat dari ayahnya, Agus membantu ayahnya menggali sedikit tanah di hadapan pohon yang hendak mereka tebang esok, dan mengubur sebungkus nasi yang sejak tadi dibawa ayahnya. Tak lupa, mereka pun menggali beberapa lubang di tempat lain untuk menanam tiga buah bibit yang mereka bawa.
Sembari menanam bibit-bibit pohon itu, Pak Asep pun tak henti bercakap dengan bibit yang ia tanam.
“Cepat besar, ya, Nak. Jadilah pohon yang bagus dan bermanfaat untuk kami. Kami ini tak berdaya tanpa kalian.”
Agus hanya terdiam. Ia kembali memperhatikan tingkah laku ayahnya yang sepintas laksana orang gila. Segenap tanya kembali menyembul dari dalam dada Agus. Tapi, ia tak berani menanyakannya. Ia tahu, bahwa jawaban ayahnya pasti akan selalu sama jika pertanyaan itu diungkapkan.
Usai menanam bibit dan meminta restu alam. Mereka berdua beranjak kembali meninggalkan belantara. Terlukis kebahagiaan di wajah Pak Asep. Kebahagiaan yang tak pernah ada kala ia mendapatkan materi yang cukup. Kebahagiaan batin. Namun, wajah Agus jelas tak seperti Pak Asep. Segudang tanya di benaknya, membuat wajah mungilnya muram. Ingin rasanya ia bertanya banyak hal soal ritual yang ayahnya lakukan tadi. Agus masih tak mengerti, mengapa pohon harus diajak bicara? Agus pun tak tahu, apakah pohon-pohon itu dapat mendengar ucapan ayahnya? Tapi, ia tak berani mengungkapnya. Ia hanya membiarkan tanya itu menjelma menjadi kegelisahan.
Tiba di rumah mereka. Pak Asep melakukan aktivitas seperti biasanya. Ia pergi ke kebun mengurusi ladangnya, sementara Agus kembali menghampiri ibunya. Agus mencari ibunya di dalam rumah, tapi tak didapatinya. Ia pun beralih ke dapur sederhana milik mereka, dan melihat ibunya sedang memasak di sana. Agus tak lantas menghampirinya. Ia memperhatikan tingkah ibunya yang sedang memasak sembari berbicara pada masakannya.
“Semoga kamu menjadi tenaga bagi kami. Menjadi berkah pula bagi kami yang memakanmu. Jangan sampai kamu menjadi penyakit bagi kami.”
Agus memandang ibunya dengan tatapan aneh. Kebingungan semakin menggunung di dadanya. Ia semakin tak mengerti, mengapa kedua orang tuanya berbicara pada seluruh barang yang ada. Tadi ayahnya berbincang ramah pada pohon. Sekarang giliran ibunya bercakap dengan masakan. Tak tahan dengan semua kebingungannya. Agus pun menghampiri perempuan yang sudah tak muda itu.
“Mengapa ibu berbicara pada masakan? Tadi juga Bapak berbicara dengan pohon-pohon di hutan. Kenapa harus melakukan itu semua?” Seru Agus, mengungkapkan segenap kebingungan yang mengurung hatinya.
Ibunya tak langsung menanggapi. Ia tersenyum dan mengelus kepala mungil anak lelakinya.
“Semua yang ada di alam semesta ini hidup, Gus. Kamu harus menyayangi mereka, dan menghargai mereka.” Sahut ibunya sembari membalik masakan agar tidak gosong.
Jawaban dari ibu bukan mencerahkan hatinya. Agus malah dibuat lebih bingung lagi. Ia tak mengerti, mengapa mesti berbicara pada makhluk-makhluk itu jika ingin menyayangi mereka? Mengapa tidak berlaku baik pada mereka dengan menjaga dan merawatnya, tanpa harus mengajak bicara?
“Bu, kenapa harus mengajak mereka bicara? Mengapa tak hanya merawatnya saja? Ditanya pun mereka, kan, tidak menjawab.”
“Setelah datang waktunya, kamu pasti akan mengerti, Gus.”
Jelas, jawaban dari ibunya, sungguh tak membuat hati Agus senang. Ia seolah tak mendapat jawaban atas segala pertanyaannya.
Hari semakin gelap. Sudah saatnya kelelawar mencari makan. Rasa kantuk mulai menyergap Agus. Ia pun sudah tak sabar untuk segera menyongsong hari esok. Ia ingin ikut ayahnya untuk menebang pohon. Agar sang kala cepat berlalu, Agus pun menyerahkan dirinya pada lelap, dan membiarkan dirinya bercengkrama dengan mimpi.
Pagi pun menyapa. Embun yang menggantung di dedaunan, membuat pagi semakin lembab dan segar. Agus sudah terjaga. Ia telah bersiap-siap untuk segera mengikuti ayahnya untuk menebang pohon kayu di hutan. Di luar rumah, terlihat beberapa tetangga berkerumun. Tampaknya, mereka akan ikut membantu ayahnya untuk menebang pohon. Ya, menebang pohon bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan sendiri.
Agus berpamitan pada ibunya untuk ikut ayah ke Hutan. Usai meminta restu, Agus pun menghampiri ayahnya yang sudah bersiap bersama beberapa tetangganya. Rombongan Pak Asep berjalan meninggalkan rumahnya. Dengan langkah pasti, mereka menuju hutan yang bersahaja. Di tangan mereka sudah penuh dengan beberapa peralatan. Ada yang membawa kapak, gergaji mesin, dan juga perlengkapan lainnya. Agus pun tak mau ketinggalan. Ia memang tak membawa perkakas seperti halnya orang dewasa. Tapi, ia membawa bekal makan siang yang tak kalah penting dengan apa yang mereka bawa.
Sesampainya di Hutan, Agus benar-benar tercengang bukan kepalang. Ia sangat tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bibit pohon yang baru kemarin ditanami oleh ayahnya, kini sudah setinggi dirinya, bahkan sedikit melebihi tinggi badannya. Agus benar-benar tak mengerti.
“Mengapa bibit itu sudah melebihi tinggi badanku? Padahal, kemarin bibit itu masih setinggi lututku.” Gumamnya dalam hati.
Kebingunganpun kembali menyergap benak Agus. Ia pun bertanya kepada ayahnya. Pak Asep hanya tersenyum kala Agus bertanya. Ia mengelus kepala Agus dan berbisik di telinganya.
“Itulah Alam, Gus.”

Terik matahari menyengat wajah seorang anak yang sedang tidur di atas bangku panjang dekat ladang kentang. Anak itu terbangun dari tidurnya karena sang surya yang menyilaukan. Di ujung ladang, terlihat seorang lelaki paruh baya sedang menyirami ladangnya. Anak itu menggisik matanya, mencoba menyegarkan kembali dirinya yang tadi sempat tertidur di atas bangku. Setelah kesadarannya kembali penuh, anak itu pun berjalan menghampiri lelaki paruh baya yang tak lain adalah ayahnya, dan berdiri di sebelahnya.
“Pak!” Seru anak itu sembari menarik ujung baju ayahnya.
“Ada apa, Gus? Sudah kenyang tidurnya?” Sahut Pak Asep sembari tersenyum menatap anak lelakinya.
“Tadi Agus bermimpi, Pak.”              
Pak Asep tak langsung menanggapi anaknya. Ia berjalan ke ujung selang untuk mematikan keran air yang sejak tadi menyala. Agus pun membantu ayahnya membereskan selang bekas menyirami ladang. Usai membereskan selang, mereka duduk di atas bangku panjang yang tadi dipakai tidur oleh Agus.
“Mimpi apa tadi, kamu, Gus?” Tanya Pak Asep sembari tersenyum.
“Agus bermimpi ayah berbicara dengan pohon yang baru ditanam. Dan keesokan harinya, pohon itu sudah lebih tinggi dariku. Padahal, sebelumnya pohon itu masih setinggi lututku.”
Pak Asep tersenyum mendengar cerita mimpi Agus. “Gus!” Sapa Pak Asep. “Pohon yang kita perlakukan layaknya manusia, akan cepat tumbuh seperti yang ada dalam mimpimu. Tak hanya pohon, tapi seluruh alam semesta ini, jika kita perlakukan dengan baik sebagaimana kita berlaku baik pada manusia, maka mereka akan berlaku baik pula kepada kita.”
“Tapi, kenapa mesti diajak bicara, Pak?”
“Berbicara baik dengan alam, merupakan bentuk penghargaan kita pada mereka dan bukti bahwa kita menyayangi mereka, Gus.” Jawab Pak Asep. “Bapak mau cerita. Di suatu Desa nan jauh di sana. Ada sebuah peradaban yang jika mereka ingin menebang pohon, mereka tak langsung menebangnya. Tapi mereka mengelilingi pohon itu dan mencaci maki pohon itu setiap hari. Hingga lambat laun, pohon itu pun mati dan tumbang tanpa harus ditebang. Gus, kalau kamu mencaci apapun di alam ini, maka apa yang kamu caci akan merasa tak diinginkan, dan akhirnya mereka pun mati. Berbeda jika kamu memuji mereka dan berkata baik. maka mereka akan tumbuh dengan baik karena merasa sangat diinginkan.”
Agus pun tersenyum. Ia menatap lepas ke sekitaran, melihat indahnya alam yang Tuhan ciptakan untuk kampungnya. Ya, betapa Tuhan telah berbaik hati memberikan alam yang indah pada manusia. Tinggal bagaimana cara kita merawat mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA DAKWAH MEREKAYASA SOSIAL UMAT ISLAM

PIDATO ANALOGI

BASA SUNDA